Bahasa Indonesia (id) | Ganti Bahasa (Change Language)
Oleh: Benjamin S. Fisher, University of the Nations, Youth With a Mission (YWAM), Kona, Hawaii


[Catatan Editor: Benjamin Fisher adalah pekerja pengembangan masyarakat yang sebelumnya ditempatkan di Jawa Tengah, Indonesia. Saat sedang berusaha mempelajari lebih lanjut tentang topik khusus ini, Ben mendapati adanya kekosongan karena tidak ada panduan umum bagi lebah tanpa sengat, khususnya dalam konteks di mana dia berada saat itu. Tulisan berikut ini adalah upaya Benjamin untuk meramu informasi tentang peternakan lebah tanpa sengat dalam format yang enak dibaca bagi mereka yang berada di kawasan Asia Tenggara—dan khususnya bagi mereka yang berada di pulau Jawa. Berbagai informasi ini diramu untuk membuat sebuah garis besar dan pengenalan — bukan sebagai sebuah panduan referensi yang bersifat luas. Di halaman terakhir disertakan pustaka dan sumber-sumber untuk bacaan lebih lanjut.]

AN 45 Bee Fig 1

Gambar 1. Pintu masuk sarang koloni lebah tanpa sengat. Kredit foto: Chris Kirby-Lambert @ Flickr.

Pengantar

Peternakan lebah tanpa sengat atau Meliponiculture adalah peternakan lebah dari suku Meliponini. Ada ratusan spesies lebah tak bersengat. Kemungkinan di kawasan Subtropis/Tropis Asia dan Australia sajaada 89 spesies yang telah dikonfirmasi (Rasmussen, 2008); dan, walaupun banyak yang mampu menghasilkan madu, namun lebah-lebah ini adalah spesies dari suku yang sama sekali berbeda dari lebah madu peliharaan (Apis mellifera dan Apis cerana indica).Meskipun lebah tak bersengat masih tetap memiliki sengat, namun sengatnya kecil dan tak berkembang dengan baik sehingga tidak dapat menyengat seseorang — itulah sebabnya mereka disebut sebagai lebah tak bersengat. Namun, mereka masih bisa menggigit (meskipun menurut beberapa catatan: tidak menyakitkan) dan akan mencoba mengganggu siapapun yang merampok madu dengan menyerang mata atau telinga si pengganggu. Lebah tanpa sengat telah dipelihara selama ribuan tahun, terutama di kawasan sekitar lembah Amazon (New World Tropics). Di kawasan ini awalnya tidak ada lebah madu sebelum lebah diperkenalkan oleh penjajah dan penjelajah Eropa. Lebah tanpa sengat jauh lebih sedikit diteliti dan dikembangkan ketimbang lebah madu karena sejumlah faktor tertentu.

Lebah tak bersengat menghasilkan madu yang lebih tinggi kandungan airnya dibandingkan madu yang dihasilkan oleh spesies lebah domestik. Spesies domestik mempunyai kandungan air di bawah 20% saat dipanen; sedangkan madu dari banyak lebah tak bersengat rata-rata sekitar 30%: meskipun dapat berkisar antara 20-45% tergantung spesiesnya.Kandungan air yang lebih tinggi dalam madu menunjukkan bahwa madu mengalami sebuah proses fermentasi alami — jadi kebanyakan madu lebah tanpa sengat memiliki aroma asam yang kemungkinan besar disebabkan oleh asam asetat (cuka) atau asam laktat yang dihasilkan oleh proses fermentasi. Proses fermentasi ini terjadi karena adanya mikroba seperti ragi dan bakteri yang banyak di antaranya adalah probiotik. Kandungan air yang lebih tinggi ini berarti madu lebah tanpa sengat dapat rusak dan harus dipasteurisasi jika menginginkan umur simpan yang lebih lama.Ada banyak klaim bahwa madu ini mempunyai beragam manfaat kesehatan, dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa klaim ini beralasan — termasuk kemungkinan adanya sifat anti-diabetes sehingga mampu melindungi pankreas. Madu dari lebah tak bersengat umumnya dijual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan madu dari lebah madu peliharaan (Aziz dkk., 2017).

Beberapa spesies lebah tak bersengat hanya akan menghasilkan hingga dua kilogram madu per tahun sementara spesies yang lainnya bahkan menghasilkan lebih sedikit lagi. Hasil  panen ini jauh lebih rendah ketimbang hasil dari sarang lebah madu peliharaan — sehingga menjadi salah satu alasan tingginya harga madu per kilogram. Lebah tak bersengat juga cenderung mengunjungi bunga yang lebih beraneka ragam ketimbang lebah madu peliharaan: meskipun sebagian dari alasannya adalah karena banyaknya spesies sebab penelitian menunjukkan bahwa spesies yang berbeda akan mengunjungi bunga dari famili tumbuhan tertentu yang berbeda juga.

Kebanyakan lebah tak bersengat tidak membangun sel heksagonal dari lilin lebah, tidak seperti spesies lebah madu. Lebah tak bersengat menggunakan resin tumbuhan untuk membuat propolis—senyawa yang juga dibuat oleh lebah madu dan umumnya dikenal sebagai 'Lem Lebah'. Propolis yang dibuat oleh lebah tak bersengat cenderung memiliki kandungan lilin yang lebih tinggi ketimbang propolis yang dibuat oleh lebah madu dan oleh karena itu terkadang disebut sebagai cerumen. Bahan ini digunakan untuk membungkus madu dalam 'pot-pot' kecil (Gambar 2); dan juga berfungsi untuk menutup lubang, membuat struktur lain di dalam sarang, dan untuk mengubur bangkai hewan invasif yang terlalu besar untuk dihilangkan oleh lebah (yaitu tikus, serangga besar lainnya, dll.). Propolis cenderung berwarna gelap, dapat dipanen, dan dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam berbagai cara. Propolis dapat digunakan untuk membuat semacam pernis untuk mewarnai kayu, dapat digunakan dalam beberapa kosmetik, dan memiliki sejumlah manfaat kesehatan yang diklaim dan terbukti kebenarannya jika dikonsumsi. Propolis telah terbukti sebagai anti virus dan anti bakteri. Ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa propolis mungkin efektif dalam melawan dan mencegah kanker. Di sini, di Indonesia saya diberitahu bahwa propolis juga digunakan sebagai obat dan diresepkan untuk pasien kanker.

AN 45 Bee fig 2

Gambar2.Struktur sarang lebah tak bersengat Heterotrigona itama.

[Catatan Editor: Untuk pertanyaan-pertanyaan, komentar, atau pengalaman pribadi tentang topik ini, kunjungi forum 'percakapan/conversations' komunitas Meliponiculture echocommunity: Meliponiculture: Stingless Beekeeping.]

Lebah Tak Bersengat di Jawa

Ada informasi yang berbeda mengenai berapa banyak spesies lebah tak bersengat yang ada di pulau Jawa. Satu-satunya informasi yang dapat saya temukan secara online menyatakan bahwa mungkin ada enam hingga sembilan (atau lebih) spesies di Jawa: tetapi informasi tersebut hanya memuat daftar enam spesies. Spesies tersebut adalah: Geniotrigona thoracica, Heterotrigona itama, Lepidotrigona terminata, Tetragonula drescheri, Tetragonula laeviceps, dan Tetrigona apicalis (Pangestika dkk., 2017).

Lebah ini semuanya memiliki ukuran yang berbeda-beda, jumlah lebah pekerja terbesar masuk dalam spesies Heterotrigona itama dan Tetrigona apicalis, keduanya memiliki panjang lebih dari 5 mm, perbedaan utama yang mencolok antara keduanya adalah sayap dua warna yang dimiliki oleh T. apicalis. Pada gambar di bawah (Gambar 3) kita dapat melihat perbandingan tiga spesies lebah tak bersengat—semuanya ada di Jawa—berdampingan dengan lebah madu yang diternakkan di kawasan Asia. Saya paling banyak berpengalaman menangani lebah yang saya yakini sebagai T. drescheri, tetapi saat ini saya menjadi kurang yakin: spesies ini jauh lebih kecil daripada semua spesies di atas. Banyak dari lebah tak bersengat yang kita miliki di sini disalah artikan sebagai lalat kecil atau agas — karena segala sesuatu dinilai berdasarkan ukuran fisik mereka.

AN 45 Bee fig 3

Gambar3.Perbandingan 4 lebah utama. Dari kiri: Apis cerana, Heterotrigona itama, Tetrigona apicalis, Tetragonula laeviceps.

Beberapa dari spesies ini juga dapat ditemukan di pulau-pulau lain di Indonesia; dan, beberapa bahkan dapat ditemukan di wilayah lain di Asia Tenggara: termasuk Kamboja, Malaysia, dan Singapura. Ada juga beberapa spesies yang ada di Indonesia yang juga ditemukan menyebar sampai jauh di India. Saya berencana untuk menghubungi sebuah universitas yang berlokasi di Bogor, Indonesia (sebuah kota dekat ibu kota—Jakarta—di pulau Jawa) untuk mencoba dan mendapatkan lebih banyak informasi tentang spesies yang dikenal di pulau Jawa karena kurangnya informasi yang saya dapat di jalur daring (dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia).

 

Menangkap Koloni dan Struktur Sarang

Dari ukuran lebah dan jumlah madu yang dihasilkan dan tersedia untuk dipanen, dapat disimpulkan bahwa lebah tak bersengat cenderung membuat sarang yang jauh lebih kecil ketimbang lebah madu peliharaan. Umumnya—lebah tak bersengat di sini, di Jawa— meletakkan sarangnya di batang-batang bambu, kayu, dinding batu atau bata, atau lubang atau celah kecil yang ada di mana pun. Ada sejumlah metode untuk menangkap koloni liar ini guna memindahkannya ke sarang buatan manusia supaya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga atau sistem pertanian.

Metode utama yang digunakan untuk memindahkan sarang liar ke dalam sistem sarang buatan manusia adalah metode yang sangat sederhana. Ketika sarang liar telah ditemukan, perlu dibuat sebuah penilaian tentang seberapa mudah penghuni sarang liar tersebut dapat ditangkap; misalnya: apakah sarang sekadar menempel ataukah tertanam dalam potongan kayu, batang bambu, atau wadah plastik atau logam buatan manusia? Jika demikian, pengangkatan sarang hanya melibatkan dibukanya bahan rumah atau bahan sarang yang baru. Komponen-komponen khusus dari sarang alami kemudian dipindahkan dan ditempatkan di dalam sarang yang baru, sarang buatan manusia.

AN 45 Bee Fig 4
Gambar 4. Contoh struktur sarang lebah tak bersengat yang berada dalam kotak kayu buatan manusia. Perhatikan sarang yang terbuat dari propolis, bukan lilin, sebagaimana yang normalnya ditemukan di koloni lebah Eropa.

Pada gambar di atas (Gambar 4) kita melihat contoh struktur sarang yang berada dalam sarang buatan manusia dari kayu sederhana. Tata letaknya sangat mirip dengan tata letak sarang lebah madu.  Perbedaan utamanya adalah strukturnya yang terbuat dari propolis, bukan lilin. Pintu masuk sarang khusus ini ada di bagian atas gambar (tidak terlihat). Struktur dalam gambar di atas digunakan untuk menyimpan serbuk sari—sumber makanan protein bagi larva. Sel putih yang ditunjukkan pada gambar, menunjukkan struktur berikutnya yang ada dalam sarang, yaitu sel-sel yang mengandung larva lebah yang hampir dewasa dan disebut sebagai sisiran eraman/brood cells' di sarang lebah tanpa sengat dan sarang lebah madu (Gambar 4). Di sebagian besar spesies, sel-selnya cenderung berwarna lebih gelap jika dia mengandung larva yang lebih muda — sel putih menunjukkan bahwa 'eraman' tersebut hampir menjadi kepompong. Dibutuhkan waktu sekitar 35-50 hari bagi sel untuk menghasilkan lebah,tergantung pada spesiesnya.

 

 

Struktur ketiga, dan merupakan yang terakhir dalam sarang adalah ‘kantong-kantong madu.' Ini adalah area penyimpanan madu bagi lebah tak bersengat dan letaknya cenderung berada paling jauh dari pintu masuk. Sama seperti lebah madu, perilaku ini dapat dieksploitasi melalui digunakannya struktur madu 'super' disertai pemisah  ratu. Struktur super adalah pembagian-pembagian dalam sarang buatan manusia dan super ‘madu’ adalah struktur yang dibuat hanya untuk diisi madu. Pengecualian sisiran eraman bisa dicapai dengan menggunakan pemisah ratu (queen excluder). Baik lebah madu maupun lebah tak bersengat, sama-sama memiliki ratu yang ukuran badannya lebih besar dari lebah pekerja. Ini berarti diperlukan adanya struktur yang cukup besar, yang  dibangun untuk memungkinkan lebah pekerja lewat—yang tentu saja sambil mengangkut madu—tetapi struktur tersebut harus cukup kecil sehingga ratu tidak bisa masuk. Jika ratu tidak bisa masuk maka tidak akan ada induk di bagian sarang itu: misalnya tidak ada ratu yang bertelur di sisiran eraman.

Sifat sarang dan reproduksi beberapa spesies lebah tak bersengat menunjukkan adanya kemungkinan bahwa ada ratu yang hidup dan tumbuh dewasa dan satu atau dua sel khusus untuk ratu yang berisi larva para ratu; atau bahkan untuk satu ratu dewasa beserta satu atau dua ratu yang masih perawan. Ini berarti dari satu sarang liar, kita berpotensi dapat membuat dua atau tiga sarang baru. Setiap sarang buatan manusia membutuhkan sebagian struktur serbuk sari, induk, dan madu dari koloni asli.

Saat memindahkan sarang dari sebuah struktur permanen, yang praktis tidak bisa dibuka, misalnya dinding batu, beton, atau bata maka proses yang harus ditempuh menjadi lebih panjang. Proses utama (yang tampaknya juga dapat digunakan untuk lebah madu) dilakukan dengan menutup pintu masuk sarang dan hanya mengizinkan adanya satu lubang terbuka yang disambung dengan  tabung atau selang yang kemudian dihubungkan ke bagian belakang dari sarang buatan manusia. Selang ini harus mempunyai panjang antara 30 sampai 50 cm. Tujuan digunakannya selang ini adalah untuk membuat jalur yang menciptakan pintu masuk baru ke sarang buatan manusia. Lebah akan mulai menggunakan selang sebagai jalur untuk keluar dari sarang dan akan mulai bergerak masuk ke dalam struktur buatan manusia karena kenyamanan dan kedekatannya dengan pintu masuk sarang alaminya. Proses pindah ini bisa memakan waktu antara enam bulan hingga satu tahun. Alasan mengapa jangka waktunya demikian panjang adalah karena induk sebelumnya harus tumbuh matang terlebih dahulu dan menjadi lebah dewasa sebelum ratu pindah ke sisiran eraman baru yang ada di sarang buatan manusia. Cotohnya: semua informasi pemindahan sarang dari dinding dan dari lokasi yang ada dalam gambar-gambar berikut diambil dari video berjudul Stingless Bees Part 2 – Get Bees out from a Wall (Binu, 2016).

Saat ini kami sedang dalam proses menguji metode pengalihan dinding ini karena sumber ini berasal dari Kerala, India—yang berarti spesifikasi yang digunakan mungkin tidak sama dengan  spesies lokal di tempat kami. Saat ini saya tidak tahu apakah di Indonesia ada metode mengalihkan dinding sarang ini. Gambar pemindahan sarang yang ada di bagian atas tulisan ini juga diambil dari sumber video yang sama, yang berbasis di Kerala, India; namun, jika dibandingkan dengan pengambilan video dengan kualitas lebih rendah di Indonesia (khususnya di Jawa Tengah tempat kami berada) tampaknya tidak ada perbedaan besar dengan proses yang digambarkan di India.

Ada beberapa aturan umum yang perlu diingat saat menangkap atau membelah sarang alami. Tepat setelah sarang alami tersebut ditangkap atau dibelah, sarang akan berada dalam keadaan rentan terhadap serangan semut. Beberapa metode untuk melindungi dari semut akan disertakan di bagian yang membahas Desain Sarang. Sarang yang telah terbelah juga harus tetap berdekatan satu sama lain, awalnya dimulai dengan jarak 30 cm. Baik sarang yang ditangkap maupun sarang yang dibelah harus ditempatkan (dalam sarang buatan manusia) dekat dengan lokasi aslinya dan harus tetap di sana selama sekitar satu bulan. hal yang perlu diingat saat memindahkan induk ke sarang buatan manusia adalah sel putih lebih kuat daripada sel coklat. Propolis juga cenderung menarik lebah tak bersengat—peternak lebah dapat memanfaatkan kecenderungan ini dengan meletakkan propolis di sekitar pintu masuk sarang baru guna menarik datangnya lebah pekerja yang sedang terbang berkeliaran di sekitar sarang baru tersebut. Tips lainnya, jika koloni terletak di dalam struktur kayu yang akan dibuka, akan sangat menolong jika kita mengumpulkan anggota koloni sebanyak mungkin sebelum berusaha membuka sarang dari kayu tersebut.Ini dapat dilakukan dengan menutupkan wadah yang memungkinkan sirkulasi udara pada pintu masuk dan kemudian mengetuk-ngetuk sarang untuk membuat lebah yang ada di dalamnya tidak mempunyai pilihan lain selain bergerak keluar. Wadah tersebut akan segera terisi dan lebah-lebah itu kemudian dapat disisihkan dan diletakkan di tempat yang teduh. Hal ini sangat membantu mengurangi jumlah keseluruhan lebah yang dapat terluka selama proses pemindahan dan juga mengurangi jumlah lebah yang dapat menyerang atau mengganggu peternak lebah.

 

Desain Sarang

Ada sejumlah desain sarang yang saya temukan dalam penelitian ketika saya mengamati  pemeliharaan lebah tak bersengat di Asia Tenggara danAsia Selatan. Ini termasuk tetapi tidak terbatas pada: sarang alami dengan batok kelapa sebagai wadah madu, berbagai desain kotak kayu, sarang bambu, dan sarang PVC. Saya telah melihat foto-foto yang diambil di Amerika Tengah dan Amerika Selatan di mana mereka membangun sarang dari tembikar, jadi ini pun bisa menjadi salah satu kemungkinan. Saya juga menyadari bahwa ada sarang lebah tak bersengat yang disimpan di dalam batang-batang kayu berlubang (Gambar 5).

AN 45 Bee Fig 5

Gambar 5. Contoh sarang kayu yang berdiri sendiri, ditemukan di Thailand utara. Kayu ini ditutup rapat  kedua ujungnya, atau di sepanjang belahannya. Penutupan bisa dilakukan dengan tanah liat. Hal ini memungkinkan sarang dapat dibuka dengan mudah dan/atau disegel kembali seperlunya. Kredit foto: Patrick Trail.

Sarang Kotak Kayu

Sejauh yang saya ketahui, sarang buatan manusia yang pertama dan paling umum ditemui adalah sarang yang terbuat dari kotak kayu. Ini adalah salah satu dari dua sistem yang pernah saya lihat di Indonesia dan juga yang saya lihat di video dari negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan lainnya. Sarang kotak kayu bisa sesederhana kedengarannya: sebuah kotak kayu dengan lubang kecil sebagai pintu masuk. Biasanya, kotak memiliki penutup yang dapat dilepas atau kotak dapat dibelah terbuka menjadi dua. Banyak sarang yang saya lihat sebenarnya tetap tertutup dan disegel dengan menggunakan propolis yang dibuat oleh lebah. Biasanya volume kotak ini berkisar antara 1-4 liter. Ukuran optimal sarang ditentukan oleh spesies lebah—karena spesies lebah tak bersengat sangat bervariasi dalam ukuran individu maupun ukuran sarang.

Beberapa desain sarang lainnya menyertakan dipasangnya lembaran plastik bening di antara tutup dan sarang supaya kita bisa melakukan pengintaian. Hal ini dimungkinkan karena lebah akan menempelkan propolis ke plastik dan bukannya di tutup sarang sehingga memungkinkan tutupnya dilepas dengan mudah. Selain itu hal ini juga memberikan kesempatan kepada peternak untuk mengamati sarang. Dengan demikian, penjaga dapat mengetahui kapan harus memanen dan memungkinkan mereka menilai kesehatan serta perkembangan sarang.

Sistem lain yang saya lihat, menggabungkan dua ruang yang ada di dalam kotak kayu. Ini biasanya dilakukan dengan menumpuk dua kotak yang saling menempel satu kepada yang lain. Sistem ini biasanya menyertakan pemisah ratu (disebutkan sebelumnya dalam dokumen). Pemisah ini biasanya hanya berupa papan kayu dengan satu atau beberapa lubang yang dibor ke dalamnya. Sistem semacam ini memungkinkan kita untuk memindahkan setengah dari sarang tersebut tanpa mengganggu induk dan biasanya akan mengurangi jumlah kerusakan yang terjadi pada sarang saat madu dipanen. Pemisah ini juga akan mengurangi kerusakan lebah remaja. Pada halaman berikutnya ditunjukkan contoh desain sarang kotak kayu yang disediakan oleh FAO (Bradbear, 2009) (Gambar 6). Rancangan ini secara khusus berasal dari dokumen yang berfokus pada Meliponikultur di Filipina, tetapi karena jarak yang dekat maka kemungkinan besar ada beberapa spesies lebah yang sama di seluruh wilayah Filipina dan Indonesia. Desain ini menyertakan lubang ventilasi—yang merupakan fitur yang belum pernah saya lihat di sistem lain sejauh ini. Desain ini juga cukup mirip dengan desain sarang lebah yang saya lihat di Australia — yang cenderung menjadi tempat asal sebagian besar informasi berbahasa Inggris tentang peternakan lebah tak bersengat. Keragu-raguan utama saya dalam menggunakan informasi dari sumber-sumber Australia adalah karena berbedanya tampilan fisik lebah tak bersengat di wilayah Australia dengan lebah tak bersengat di wilayah Pulau Jawa.

AN 45 Bee Fig 6
Gambar 6. Contoh desain sistem dua-ruangan yang digunakan di Filipina (Bradbear, 2009).

Sarang Bambu

Sarang bambu yang saya lihat merupakan sarang paling sederhana yang saya ketahui. Sarang bambu pada dasarnya sebanding dengan jenis sarang kotak yang paling sederhana. Sarang-sarang ini dibuat hanya dengan membelah tabung bambu secara memanjang dan membuat lubang kecil di salah satu sisinya (Gambar 7). Sebuah koloni lebah kemudian ditempatkan di dalamnya dan kedua belah bagian bambu tersebut diikat menjadi satu menggunakan bahan seperti kawat atau propolis yang tersisa. Pemanenan lebah dari sarang ini cenderung sangat invasif sehingga tidak dapat dihindari terjadinya kerusakan di seluruh sarang; namun, ini mungkin salah satu cara membuat sarang lebah yang paling murah dan paling hemat tenaga kerja.

AN 45 Bee Fig 7
Gambar 7. Contoh sarang terbuat dari bambu yang dibelah, beberapa desain paling sederhana yang ada di luar sana

Sarang Kelapa

Ada dua desain utama yang memanfaatkan batok kelapa (tidak termasuk sabutnya). Salah satu cara adalah menggunakan satu kelapa untuk seluruh koloni. Sistem ini termasuk sistem sarang yang tertua dari antara sarang buatan manusia. Meskipun demikian, sarang ini memiliki sejumlah masalah, di antaranya adalah sebagian besar sarang perlu dihancurkan supaya kita bisa mengambil madu.Sarang kelapa juga hanya cocok untuk spesies tertentu karena bagian dalam sebuah kelapa hanya mempunyai volume yang sangat terbatas. Namun, ada cara untuk memodifikasi sistem ini.

Penggunaan kelapa lainnya yang saya ketahui adalah sistem yang dipraktikkan di Filipina. Di sana mereka menggunakan kelapa sebagai wadah wadah madu — pada dasarnya menggunakannya sebagai bagian tambahan sarang yang berfungsi untuk menyimpan madu. Ini dapat dilakukan dengan menempelkan kelapa ke sarang liar yang sudah ada; atau buah kelapanya bisa dijadikan super madu untuk sarang kelapa. Konstruksi sarang dalam sistem semacam ini juga sangat hemat tenaga kerja dan memanfaatkan bahan limbah yang umum ditemukan di seluruh kawasan tropis. Batok  kelapa juga bermanfaat karena sangat tahan terhadap pembusukan sehingga membantu panjangnya umur dari struktur sarang tersebut.

Sarang PVC

Sejauh ini kita hanya membahas sistem-sistem yang sebagian besarnya menggunakan bahan alami dan murah. Sistem berikut adalah salah satu yang dipromosikan oleh sebuah peternakan di Kerala, India yang dikenal sebagai Peternakan Madu Madhusree. Meskipun sistem ini tidak terbuat dari bahan alami yang murah; namun sistem ini terbuat dari bahan yang mudah didapat dan tahan lama disertai harga yang wajar. Suku cadang untuk sarang ini seharusnya tersedia di toko mana pun yang menjual berbagai perkakas suku cadang dan pipa ledeng.

Manfaat dari sarang ini tidak hanya daya tahan dan umur panjang sarang, tetapi juga kemampuannya untuk menyesuaikan dengan penggunaan bahan produksi pabrik. Sistem yang akan kita bahas ini memungkinkan akses dan panen madu yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah,hanya memberikan tekanan minimal pada lebah dan kerusakan sarang. Manfaat utama lainnya adalah sarang ini bisa digantung di berbagai lokasi. Manfaat yang satu ini membuat sarang terlindung dari pemangsa dan memungkinkan keleluasaan penggunaan ruang karena sarang dapat digantung di bangunan, pepohonan, dll. Desain sarang ini diharapkan sesuai untuk lebah di Jawa mengingat hanya ada satu desain yang digunakan untuk beberapa spesies lebah di Kerala, India—yang setidaknya mempunyai satu spesies yang sama dengan yang ada di Indonesia.

Semua gambar berikut diperoleh dari video yang ditemukan di saluran Youtube Work With Nature mengenai Peternakan Madu Madhusree dan sistem sarangkhusus terbuat dari PVC yang mereka gunakan—diciptakan oleh pendiri peternakan Madhusree (Binu, 2016).

AN 45 Bee Fig 8.1
Gambar 8. (1) contoh sarang PVC. Pipa hitam yang muncul dari sepertiga bagian bawah sarang adalah pintu masuk ke dalam sarang. (2) sarang ditampilkan dengan ruang bawah terbuka. Ruang ini akan digunakan sebagai ruang induk tempat tinggal ratu dan larva. Saat melakukan pemindahan sarang, Anda akan memindahkan induk dan serbuk sari ke dalam ruangan ini.(3) sarang dengan selubung luar untuk memindahkan wadah madu.
AN 45 Bee Fig 8.456
(4) contoh pemisah ratu, yang berada di antara ruang induk dan wadah madu. (5) struktur interior wadah madu dapat diambil/dipindahkan untuk  memanen madu. (wadah madu yang berisi madu yang telah dikeluarkan dari sarang PVC gantung untuk memanen madu dan propolis (Binu, 2016).

Mengendalikan Semut

Topik terakhir dari dokumen ini adalah diskusi singkat tentang bagaimana mengendalikan semut. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, ketika sarang baru saja dibelah, dipindahkan, atau dipanen dari lebah, untuk sementara waktu, lebah-lebah akan rentan terhadap serangan hama, misalnya semut. Sistem utama untuk menjauhkan semut adalah melalui sejumlah desain 'parit': ini yang paling praktis karena semut tidak akan dapat melewati cairan, misalnya air atau minyak.Jika Anda memiliki sarang di atas meja kecil atau apa pun dengan 'kaki' maka solusinya bisa sangat sederhana: Anda cukup meletakkan setiap kaki atau tiang tersebut ke dalam sesuatu seperti kaleng kopi (atau wadah lain) dan mengisi kaleng tersebut dengan air atau minyak. Tentu saja, kaki atau tiang tidak boleh bersentuhan dengan sisi kaleng agar cairan tersebut bisa menjalankan fungsinya.

Dalam kasus sarang gantung, biasanya kita harus melakukan semacam modifikasi agar ada tali atau kawat yang mengikat sarang tersebut ke tempat bertenggernya. Agar dapat berfungsi dengan baik, modifikasi ini biasanya harus melibatkan adanya  air. Cara lain untuk mencegah serangan semut antara lain dengan menggosokkan zat lengket atau licin di sekitar rumah atau wadah madu atau di sekitar tali/kawat yang digunakan untuk mengaitkan wadah tersebut ke tempat bertenggernya. Ini dapat mencakup benda-benda seperti Vaseline atau kertas lalat. Saran terakhir untuk sarang gantung adalah menggantungnya dengan tali pancing. Tali pancing susah dirayapi semut sehingga dapatmembantu melindungi sarang. Tali ini harus lebih tebal supaya dapat menahan berat sarang.

 

Pustaka

Aziz, M.S.A., Giribabu N, Rao P.V., Salleh N. 2017. Pancreatoprotective effects of Geniotrigona thoracica stingless bee honey in streptozotocin-nicotinamide-induced male diabetic rats. Pubmed. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28222394

Binu, P.T. 2016. Stingless Bees/Meliponiculture Part 1 – Designing the Beehives and Getting the Honey! Work With Nature. Nov. 13, 2016. https://www.youtube.com/watch?v=Av43ZiQP1UQ&list=PLhAXjvNqBVlOCeJ8sr8n_bK0nOYAQzOv&index=1+14

Binu, P.T. 2016. Stingless Bees/Meliponiculture Part 2 - Getting Bees out from a Wall! Including the Queen! Work With Nature. Nov. 20. 2016. https://www.youtube.com/watch?v=EvbnWpLWFFQ

Bradbear, N. 2009. Bees and their role in forest livelihoods. A guide to the services provided by bees and the sustainable harvesting, processing, and marketing of their products. Chapter 6: Meliponiculture of Stingless Bees. Foof & Agriculture Organization of the United Nations. http://www.fao.org/3/i0842e/i0842e00.pdf

Rasmussen, C. 2008. Catalog of the Indo-Malayan/Australasian stingless bees (Hymenoptera: Apidae: Meliponini). Zootaxa 1935. https://www.researchgate.net/publication/271214026_Catalog_of_the_Indo-MalayanAustralasian_stingless_bees_Hymenoptera_Apidae_Meliponini

Pangestika, N.W., Atmowidi, T., and Kahono, S. 2017. Pollen load and flower constancy of three species of stingless bees (Hymenoptera, Apidae, Meliponinae). Tropical Life Sciences Research 28(2):179–187. doi: 10.21315/tlsr2017.28.2.13