Bahasa Indonesia (id) | Ganti Bahasa (Change Language)
Oleh: Md. Mokhlesur Rahman and Philip Mathew Birkey
Terbit: 15 Juni 2015


This article is from ECHO Asia Note #24

[Catatan Editor: Selama beberapa tahun ini, ECHO Asia telah mengkoordinasi berbagai
penelitian, menyelenggarakan pelatihan dan mempromosikan penggunaan jamur
Trichoderma dan Beauveria yang berfungsi sebagai pengendali biologis. Artikel ini secara singkat melaporkan sejumlah temuan Mennonite Central Committee (MCC) Bangladesh dan Bangladesh Agricultural Research Institute (BARI) tentang berbagai manfaat dan teknik menggunakan Kompos-Tricho.]

Pendahuluan

Apa Kompos-Tricho itu?

Kompos-Tricho adalah materi yang dihasilkan ketika spora jamur yang bermanfaat,
Trichoderma sp. digunakan dalam proses pembuatan kompos. Trichoderma sp. adalah
pesaing alami yang melawan bermacam-macam jamur berbahaya; ketika ditambahkan ke kompos, maka Trichoderma dapat menjadi agen anti-jamur untuk melindungi tanaman di lahan.

Darimana Trichoderma diperoleh?

Trichoderma adalah genus dari jamur bermanfaat yang ada di alam. Untuk mendapatkan
biakan murni maka Trichoderma perlu diisolasi dari tanah. Sampel-sampel tanah dari sekitar akar-akar tanaman diencerkan hingga 106 kali dalam air suling kemudian digunakan sebagai inokulum dalam media Potato Dextrose Agar (PDA) yang sudah disterilkan (untuk memungkinkan pertumbuhan jamur). Dari koloni jamur yang ada dalam medium tumbuh PDA, Trichoderma diisolasi (dengan mengamati spora/konidia) dan kemudian dimasukkan sebagai biakan murni dalam media tumbuh yang sama. Pengenceran sampel tanah yang lebih tinggi lagi akan menyebabkan koloni bakteri, bukannya jamur yang tumbuh di media tumbuh – hal yang sungguh tidak diinginkan.

Inokulum Trichoderma adalah biakan segar dan murni Trichoderma sp. yang digunakan
dalam persiapan kompos Trichoderma. Inokulum ini biasanya diproduksi di laboratorium, di mana spesies Trichoderma tertentu dapat diisolasi dan dilipatgandakan pada media tumbuh tanpa terkontaminasi oleh spesies jamur-jamur lainnya.

Apa Lindi Trichoderma itu?

Lindi Trichoderma adalah cairan menyerupai sup/sirup yang keluar dari tumpukan kompos, sebagai hasil dari proses pengomposan-Tricho (Nahar dkk., 2012). Lindi ini sering memiliki kandungan spora Trichoderma per unit, yang lebih tinggi ketimbang jumlah yang sama dari kompos itu sendiri. Lindi ini mengandung nilai hara bagi tanaman, dan dapat digunakan sebagai semprotan untuk daun (setelah diencerkan). Lindi juga dapat digunakan sebagai inokulum Trichoderma untuk persiapan pembuatan kompos angkatan berikutnya (Deepthi dan Reddy, 2013). Rincian penggunaan lindi Trichoderma akan digambarkan belakangan dalam dokumen ini

Membuat Kompos-Tricho

Bahan-bahan

Pada tahun 2008, MCC diajak oleh pihak BARI untuk melakukan penelitian tentang kompostricho. BARI telah mengembangkan metode untuk produksi kompos ini, tetapi membutuhkan bantuan dalam menemukan cara-cara untuk mengadaptasikannya sehingga bisa digunakan oleh berbagai organisasi dan petani di Bangladesh, karena sistem yang mereka miliki saat itu tidak efisien untuk mencapai tujuan terebut. Pada gilirannya, MCC mengajak salah satu mitranya, GrameenKrishokShahayokSangstha (GKSS), kelompok yang sudah melakukan pembuatan kompos-cacing, dan mereka setuju untuk membantu penelitian ini. Melalui penelitian dan uji lapang, sebuah campuran konsisten telah berhasil dikembangkan sebagai berikut:

  • 25% kotoran sapi (kaya nitrogen, dengan rasio perbandingan karbon-nitrogen (C:N) sebesar 8,5% serbuk gergaji (sebagai sumber karbon)
  • 36% kotoran ayam sebagai penyedia kalsium dan nitrogen, dan untuk mengurangi munculnya penyakit yang menyebar dari dan di tanah)
  • 33% eceng gondok(sebagai penyedia kalium)
  • 0,5% abu (sebagai penyedia kalium)
  • 0,5% dedak jagung (sebagai pakan inokulum)

Manfaat Bahan-bahan

Tricho-Composting 1

Tricho-Composting 2atas) Md. Aftab Ali sedang menunjukkan fasilitas pembuatan komposnya. Plastik biru dijadikan alas. Cincincincin semen itu digunakan untuk mengumpulkan lindi Trichoderma. (bawah) Md. Bazlur Rashid sedang mencampur bahan-bahan kompos sebelum memasukannya ke dalam cincin-cincin atau wadah untuk pengomposan.

Campuran tersebut dipilih karena beberapa alasan. Kotoran sapi dan eceng gondok mudah diperoleh di Bangladesh, dan merupakan sumber hara dan bahan organik yang baik.

Kotoran ayam ditambahkan karena kandungan hara serta efek anti-cacing dan efek
bakterisida di dalamnya. Dalam eksperimen yang dilakukan oleh MCC di Bangladesh, kami menemukan bahwa pemberian kotoran ayam di sekitar tanaman tomat dan terong berhasil mengendalikan layu yang disebabkan oleh bakteri (laporan penelitian MCC). Pada saat kotoran ayam digunakan dalam kompos-tricho, kompos tetap mempertahankan kualitas ini. Kotoran ayam mempunyai beberapa kandungan fenolik yang berfungsi sebagai agen antibakteri melawan layu yang disebabkan oleh bakteri. Kotoran ayam juga kaya nitrogen dan kalsium, yang membuat sel-sel tumbuhan menjadi kuat dan memampukan tanaman melawan penyakit semacam bintil akar yang disebabkan oleh serangan cacing (Faruk dkk., 2011), sehingga mencegah infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur yang dapat menyebabkan layu dan rebah kecambah.

Eceng gondok menyediakan banyak bahan organik, tetapi rasio C:N-nya tinggi; mengandung karbon 29 kali lebih besar dari nitrogen (Mathew dkk., 2014). Sebaliknya kotoran ayam dan sapi memiliki banyak nitrogen yang dapat dilepaskan dengan cepat dalam proses pengomposan dan berpotensi hilang ke atmosfer sebagai amonia. Artinya, pencampuran eceng gondok dengan kotoran ayam dapat meningkatkan C:N rasio seluruh campuran kompos sehingga kehilangan nitrogen yang ada di dalam kompos (Compost Fundamentals, 2015) dapat ditekan serendah mungkin. Memasukkan eceng gondok ke dalam kompos-tricho memungkinkan nitrogen diperangkap oleh mikroorganisme selama proses pembusukan. Meskipun belum digunakan dalam campuran kompos-tricho di Bangladesh, urin hewan merupakan salah satu sumber alternatif untuk nitrogen. Sama seperti pada kotoran ayam, keberadaan eceng gondok dapat membantu menjebak nitrogen agar tetap di dalam kompos. Eceng gondok hijau juga berfungsi sebagai sumber karbohidrat (Luu dan Getsinger, 1990) dalam campuran kompos; fungsinya sebagai sumber karbohidrat memang bisa diganti oleh materi hijau lainnya, tetapi materi pengganti itu mungkin tidak mengandung karbon sebanyak yang ada di dalam eceng gondok.

Abu menambahkan mineral untuk kompos, khususnya kalium. Dedak jagung ditambahkan sebagai media tumbuh (karbohidrat/sumber energi) bagi Trichoderma untuk tumbuh dan berkembang biak dengan subur di dalam campuran kompos, terutama di harihari awal pengomposan.

Selain sebagai sumber karbon, serbuk gergaji dan eceng gondok membuat
campuran kompos menjadi lembut dan membantu aerasi. Serbuk gergaji juga mencegah agar produk akhir (kompos) tidak menjadi padat dan keras, sehingga mudah remuk.

Semua bahan-bahan tersebut mudah diperoleh di Bangladesh dengan harga yang murah dibandingkan dengan harga bahan-bahan alternatifnya. Meskipun demikian, harga pasar bahan-bahan tersebut perlu terus dipantau, karena harga dan ketersediaannyadapat berubah dari waktu ke waktu.

Mencampurkan Inokulum Trichoderma

Campuran inokulan yang digunakan di Bangladesh adalah satu liter inokulum Trichoderma (atas) Md. Aftab Ali sedang menunjukkan fasilitas pembuatan komposnya. Plastik biru dijadikan alas. Cincincincin semen itu digunakan untuk mengumpulkan lindi
Trichoderma. (bawah) Md. Bazlur Rashid sedang mencampur bahan-bahan kompos sebelum memasukannya ke dalam cincin-cincin atau wadah untuk pengomposan.
dicampur dengan 0,5 kg tetes tebu dan 20-25 liter air, per ton kompos. Bahan-bahan ini
dicampur menjadi satu dan ditambahkan ke resep kompos di atas. Kompos dan campuran inokulum dicampur sampai benar-benar rata sebelum dimasukkan ke wadah kompos. Awalnya MCC Bangladesh mencoba menaruh campuran kompos ke dalam wadah dengan menggunakan metode lapisan, dengan menaburkan campuran inokulan di atas setiap lapisan. Meskipun demikian, metode pelapisan ini ternyata mempunyai berbagai kekurangan karena beberapa alasan: sangat membutuhkan banyak tenaga kerja, karena kompos perlu dibolakbalik agar micelia Thrichoderma bisa tercampur secara merata dengan bahan-bahan kompos sehingga terjadi pembusukan yang lebih baik di semua lapisan (tidak ada pekerja yang menyukai tugas karena bau yang sangat busuk ini), dan upaya membolak-balik ini mengganggu lingkungan termal alami yang disukai oleh jamur. Metode kompos yang sekarang menggunakan cincin jamban, yang akan dijelaskan di paragraf berikutnya, jauh lebih baik (dengan syarat kompos sudah dicampur merata, tingkat kelembaban terjaga sebagaimana seharusnya, dan kompos tidak dipadatkan).

Ukuran Wadah Kompos dan Cincin Jamban

Ketinggian wadah yang digunakan untuk membuat kompos sangat penting karena masalah tekanan. Karena campuran kompos mengandung 33% eceng gondok yang berongga, saat proses pembusukan berlangsung, maka volumenya akan berkurang banyak. Karena itu, jika tumpukan pengomposan tidak cukup tinggi, dalam beberapa hari tumpukannya akan berkurang menjadi lapisan tipis saja, dan mungkin tidak dapat menyediakan lingkungan termal hangat alami yang disukai oleh Trichoderma. Dalam penelitian yang mereka lakukan, staf kami menemukan bahwa wadah ukuran 10’x 5' x 4,5' merupakan ukuran optimal untuk pengomposan. Ukuran ini cukup kecil untuk memungkinkan aerasi yang baik tetapi cukup besar sehingga Trichoderma dapat menghasilkan residu panas yang akan mempercepat proses. Jika wadah terlalu besar, akan muncul masalah kurangnya aerasi. Jika wadah terlalu kecil, kompos kehilangan residu dan Trichoderma bekerja lebih lambat.

Mengingat sejumlah persyaratan tersebut, sekarang MCC Bangladesh umumnya menggunakan cincin lubang jamban dari semen sebagai wadah. Cincin ini ditumpuk tiga dan diisi penuh sekitar 400 kg bahan kompos termasuk 240 liter air, yang menghasilkan produk akhir sekitar 120 sampai 140 kg produk akhir dari masing-masing set tiga cincin semen itu. Cincin ini digunakan karena mudah didapatkan oleh para petani di Bangladesh, dan tepat karena ukurannya diperkecil agar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh petani jika mereka memiliki satu sapi. Biasanya dalam desain sebuah cincin yang berukuran 10’x5’x4,5’, wadah itu akan memiliki lantai semen dilengkapi sistem drainase yang mengalir menuju perangkap yang akan menangkap lindi yang keluar dari kompos. Namun cara ini tidak ekonomis bagi wadah cincin jamban MCC Bangladesh. Jadi sebagai penggantinya digunakan selembar plastik insulasi/polythene yang diletakkan sebagai alas wadah cincin. Alas plastik ini bekerja cukup baik sebagai lantai pengganti yang tahan air asalkan tidak tertusuk sesuatu sehingga berlubang. Lindi harus dikumpulkan dan dituangkan kembali ke kompos selama 10 hari pertama. Lindi yang keluar dalam 10 hari pertama tidak benar-benar merupakan hasil dari proses pembusukan, tetapi lebih merupakan rembesan kelebihan air (dengan spora Trichoderma) dari campuran kompos. Dengan mengembalikannya ke wadah pengomposan, maka campuran kompos menjadi tetap lembab dan membantu proses pembusukan. Sejak 15 hari setelah menyiapkan proses pengomposan, lindi dapat dikumpulkan dan disimpan di dalam botol, karena ada beberapa kegunaan bermanfaat yang akan dijelaskan kemudian. Pastikan untuk berhati-hati dalam melakukan penyimpanan ke dalam botol, karena cairan masih melepaskan gas yang dapat meledakkan botol (Deepthi dan Reddy, 2013).

Memantau Wadah dan Perawatan Rutin

Setelah kompos ditempatkan di dalam bak, diperlukan pemantauan. Staf MCC Bangladesh merekomendasikan untuk memeriksa suhu setiap angkatan produksi kompos dengan menusukkan termometer (yang diikat ke tongkat) atau termometer jarum ke titik pusat setiap 7-15 hari. Begitu Trichoderma mulai tumbuh dan menghasilkan, suhu kompos seharusnya naik paling tinggi sampai ke 50-60oC, bergantung pada suhu luar dan ukuran wadah kompos. Penurunan suhu adalah tanda bahwa kelembaban tidak mencukupi tingkat yang diperlukan oleh Trichoderma, atau proses ini mendekati selesai. Bentuk lain dari pemantauan bisa dilakukan dengan menusukkan tongkat ke tengah kompos sampai ke bagian bawah dan menariknya keluar untuk memeriksa perbedaan warna pada tongkat, bahan yang sudah terurai
akan melekatkan warna gelap pada tongkat, sedangkan bagian yang belum membusuk akan melekatkan warna yang tidak terlalu gelap (warna alami kotoran sapi). Proses pembusukan dimulai dari permukaan dan bergerak ke arah bawah karena ketersediaan oksigen yang lebih tinggi di daerah permukaan memungkinkan Trichoderma tumbuh lebih cepat. Bau adalah indikator lain kematangan kompos mendekati tahap akhirnya; kompos yang sudah selesai berbau agak manis, dibandingkan dengan bau awal yang berbau pupuk kandang dan busuk. Menurut pengalaman MCC Bangladesh, selama musim panas, saat suhu rata-rata 35 0C proses pengomposan akan membutuhkan waktu sekitar 45 hari. Selama musim dingin, ketika suhu bisa turun sampai 10oC, proses dapat memakan waktu hingga 70 hari.

Menggunakan Kompos-Tricho

Kompos-Tricho utamanya digunakan untuk meningkatkan kualitas tanah. Sama seperti
kompos tradisional, kompos ini memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya pegang air, dapat membantu mengatur pH tanah, dan membantu pemeliharaan suhu tanah. Kompos ini seharusnya diberikan sebanyak 2-2,5 ton/hektarelahan. Kompos dapat digunakan dalam tahap persiapan lahan, dan/atau sebagai dosis sekunder atau dosis tambahan untuk tanaman para petani.

Berbagai manfaat tambahan Kompos-Tricho dibandingkan kompos tradisional

  • Kompos-Tricho berfungsi sebagai agen alami melawan jamur-jamur berbahay (Pythium sp, Sclerotiumsp, Phytophthorasp, Rhizoctoniasp, Fusariumsp, Botrytissp, Sclerotoniasp ), yang paling banyak menyebabkan penyakit di tanah dan layu karena jamur.
  • Karena menggunakan kotoran ayam, Kompos-Tricho memberikan ketahanan melawan layu bakteri dan serangan cacing (Gapasin, 2007; Nahar dkk., 2012);
  • Kompos-Tricho bisa berfungsi sebagai pendorong pertumbuhan tanaman (Celar dan Valic, 2005; Rabeerdran dkk.,2000; Inbar dkk.,1994; Lynch dkk.,1991; Hoyos-Carvajal dkk.,2009).

Seperti disebutkan sebelumnya, lindi Trichoderma – produk sampingan dari proses
pengomposan-tricho – banyak manfaatnya. Salah satu tantangan utama di Bangladesh adalah cara memproduksi inokulum Trichoderma yang membutuhkan laboratorium, yang terlalu rumit bagi petani. Hal ini membuat petani sulit memperoleh inokulum Trichoderma. Untuk mengatasi masalah ini, MCC Bangladesh dan mitra kami melakukan penelitian bersama dan menemukan bahwa lindi Trichoderma mengandung cukup spora untuk digunakan sebagai pengganti inokulum sampai enam generasi produksi kompos sebelum inokulum segar diperlukan. Sekarang penelitian tambahan sedang dilakukan untuk melihat apakah proses ini mampu menghasilkan kompos dengan semua manfaat yang sama seperti yang dihasilkan oleh inokulum segar.

Lindi Trichoderma juga mempunyai kegunaan utama lainnya di Bangladesh, yaitu untuk menyemprot daun. Sebelum disemprotkan, lindi harus disaring dulu sebelum
dimasukkan ke dalam semprotan (karena partikel padat yang ada dalam
lindi dapat menyumbat semprotan), dan diencerkan dengan air sebanyak 20ml/liter. Semprotan ini terutama digunakan untuk (tapi tidak terbatas hanya) pada pohon buah selama musim berbunga, karena menyediakantambahan hara dan hormon untuk pohon selama tahap penting masa produksinya. MCC Bangladesh juga menemukan hasil
yang sangat baik dengan menyemprotkan lindi Trichoderma pada bibit dan tahap pertumbuhan sayuran. Karena lindi juga mengandung hara mikro, pengguna
perlu menyadari bahwa menggunakannya secara berlebihan pada saat tanaman sedang dalam tahap pertumbuhan mungkin akan menyebabkan pertumbuhan vegetatif yang membuat tanaman menjadi kurang berbuah (efek terlalu subur). Penyemprotan lindi pada buah-buahan dan sayuran beberapa hari sebelum panen mungkin membuat buahbuahan dan sayuran menyebarkan bau lindi yang busuk.

Kisah Md. Abdul Mannan

[Catatan: Di bawah ini adalah kisah tentang bagaimana seorang petani di dekat Bogra telah menikmati banyak manfaat karena menggunakan kompos-Tricho.]

Tricho-Composting 3

Tricho-Composting 4(atas) Md. Abdul Mannan di samping sebuah perangkap feromon di kebun labunya. (bawah) Md. Abdul Mannan sedang menunjukkan komposnya di gubuk pembuatan kompos-Thrico.

Md. Abdul Mannan adalah seorang petani dari distrik Bogra, Bangladesh. Sumber utama
pendapatannya adalah dari budidaya sayuran. Dia memiliki satu putri dan dua putra;
semuanya sedang belajar di tingkat perguruan tinggi. Md. Mannan tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Jumlah total anggota keluarga di rumahnya adalah lima orang.

Md. Mannan memiliki lahan seluas 0,485 hektar, yang selama bertahun-tahun ditanaminya dengan sayuran dan padi. Setiap tahun, Md. Mannan harus menyemprot pestisida dalam jumlah banyak untuk mengendalikan hama yang menyerang sayuran dan padi di lahannya. Dia juga harus menggunakan banyak pupuk. Karena biaya asupan yang mahal ini, maka keuntungan yang diterimanya dari budidaya tanaman ini tidak banyak. Sulit baginya untuk menanggung biaya hidup keluarganya, serta biaya sekolah anak-anaknya. Suatu hari, Md. Mannan terpilih sebagai penerima manfaat dari GrameenUnnayanProkolpo (GUP), mitra LSM dari proyek ketahanan pangan MCC Bangladesh. GUP menerapkan teknik Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam budidaya sayuran.Mannan mendapatkan informasi tentang PHT dalam ‘pertemuan pekarangan’, yaitu sesi pelatihan singkat bagikelompok petani yang dilakukan di pekarangan rumah seseorang, seperti kurus lapang bagi petani. Dia juga memperhatikan informasi di papan pengumuman dan poster yang dipasang oleh GUP dan MCC di tempat proyek GUPdilaksanakan.

Setelah menerima dukungan pelatihan dari GUP, Mannan mulai membuat kompos-tricho dan kompos cacing (kompos yang disiapkan dengan menggunakan cacing tanah) di lingkungan rumahnya. Dia juga belajar mengenai penggunaan feromon untuk mengendalikan serangga berbahaya. Feromon adalah zat kimia yang biasanya dikeluarkan oleh serangga betina untuk menarik serangga jantan dari spesies yang sama, untuk kawin (Knodel, Petzoldt, dan Hoffmann, 1995). Feromon sintetis digunakan sebagai umpan dalam sebuah perangkap untuk menarik serangga jantan dan menjebaknya sampai mati, sehingga hanya tinggal menyisakan serangga betina yang tidak dapat kawin atau berkembang biak. Setelah membuat kompos dan feromon ini, dia menggunakan kompos tersebut untuk lahan sayurannya. Dengan menggunakan kompos-Tricho, kompos cacing, dan feromon, Mannan berhasil menurunkan biaya untuk pupuk dan pestisida. Selain itu, dia menghasilkan sayuran dengan mutu yang sangat baik dari lahannya. Baru-baru ini, dia menanam terong, kacang komak (Lablab purpureus), kacang panjang, sejenis labu, dan cabai di lahannya.

Dengan menggunakan metode pertanian organik yang dipelajarinya dari GUP, tingkat produksi tanamanyang dihasilkan oleh Mannan jauh lebih tinggi, pertumbuhan tanamannya lebih subur dan warnanya lebih bagus. Tahun lalu, Mannan memperoleh pendapatan US$865 dari menjual sayuran, dibandingkan dengan pendapatan sekitar US$288 yang diterima oleh ratarata petani dengan luas lahan yang serupa. Dia sangat senang melihat efek menguntungkan dari teknik-teknik PHT; karena teknik-teknik PHT inilah dia berhasil memperoleh uang lebih banyak daripada tahun lalu. Sekarang, dia dan anggota keluarganya sangat senang, karena pendapatan mereka telah membaik. Karena keberhasilan ini, Mannan masih terus menerapkan teknik-teknik PHT di lahannya dan mengatakan bahwa di masa depan dia akan terus menggunakan teknik-teknik ini.

PUSTAKA

Celar, F. and N. Valic. 2005. Effects of Trichoderma spp and Glicladium roseum culture filtrates on seed germination of vegetables and maize. Journal of Plant Disease Protection, 112 (4): 343-350.

Deepthi, K. P. and Reddy, P. N. 2013. Compost teas – an organic source for crop disease management. International Journal of Innovative Biological Research, 2 (1): 51-60.

Faruk, M. I., Rahman, M. L., Ali, M. R., Rahman, M. M. and M. M. H. Mustafa. 2011. Efficacy of two organic amendments and a nematicide to manage root-knot nematode (Meloidogyne incognita) of tomato (Lycopersicon esculentum L.). Bangladesh Journal of Agricultural Research, 36(3): 477-486.

Gapasin, D. P. 2007. Integrated pest management collaborative research support program. South Asia (Bangladesh) Site Evaluation Report, 2p.

Hoyos-Carvajal, L., S. Ordua and J. Bissett. 2009. Growth stimulation in bean (Phaseolus vulgaris L.) Trichoderma. Biological Control, 51: 409-416.

Knodel, Janet J., Curtis H. Petzoldt, and Michael P. Hoffmann, 1995. Pheromone Traps - Effective Tools for Monitoring Lepidopterous Insect Pests of Sweet Corn. Vegetable Fact Sheets, Cornell University. http://www.nysipm.cornell.edu/factsheets/ vegetables/swcorn/pheromone_traps.pdf Compost Fundamentals, 2015. Whatcom County Composting, Washington State University. http://whatcom.wsu.edu/ag/ compost/fundamentals/consideration_ reclamation.htm

Inbar, J., M. Abramsky, D. Cohen and I. Chet. 1994. Plant growth enhancement and disease control by Trichoderma harzianum in vegetable seedlings growth under commercial conditions. European Journal of Plant Pathology, 100: 337- 346.

Luu, K. T. and K. D. Getsinger. 1990. Seasonal Biomass and Carbohydrate Allocation in Water Hyacinth. J. Aquat. Plant Manage. 28: 3-10.

Lynch, J. M., K. L. Wilson, M. A. Ousley and J. M. Wipps. 1991. Response of lettuce to Trichoderma treatment. Letters in Applied Microbiology, 12: 59-61.

Mathew A. K., Bhui, I., Banerjee, S.N., Goswami, R., Chakraborty, A.K., Shome, A., Balachandran, S. and S. Chaudhury. 2014. Biogas production from locally available aquatic weeds of Santiniketan through anaerobic digestion. Clean Technologies and Environmental Policies. 10.1007/s10098-014-0877-6 http://link.springer.com/ article/10.1007/s10098-014- 0877-6#page-1

Mennonite Central Committee (MCC) Bangladesh Research Report 33 & 34.

Nahar, M. S., Rahman, M. A., Kibria, M. G., Karim A. N. M. R. and S. A. Miller. 2012. Use of tricho-compost and tricholeachate for management of soil-borne pathogens and production of healthy cabbage seedlings Bangladesh. Journal of Agricultural Research, 37(4): 653-664.

Rabeerdran, N., D. J. Moot, E. E Jones and A. Stewart. 2000. Inconsistent growth promotion of cabbage and lettuce from Trichoderma isolates. New Zealand Plant Protection, 53: 143-146.


Label

Compost

Daerah

Asia