Bahasa Indonesia (id) | Ganti Bahasa (Change Language)
Terbit: 01 Februari 2021


Oleh1Patrick Trail, 1Yuwadee Danmalidoi, 1,2Abram Bicksler,dan1,3Rick Burnette

1ECHO Asia Impact Center, Chiang Mai, Thailand

Sekarang ini berafilisasi dengan:

2Food & Agriculture Organization, United Nations, Rome, Italy

3Cultivate Abundance, Fort Myers, Florida, USA

[Catatan Editor: Topik menarik ini sudah muncul sejak beberapa tahun lalu ketika Rick Burnette menjabat sebagai Direktur ECHO Asia. Didasarkan pada pengamatan bahwa pakis lokal yang dapat dikonsumsi ternyata dipanen secara liar dan hanya tersedia di pasar pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Dia berpikir adanya kemungkinan Spesies Lokal yang Terabaikan dan Kurang Dimanfaatkan ini bisa saja dibudidayakan di lahan pertanian, dengan menggunakan naungan buatan, sehingga memungkinkan untuk dijual di pasar tanpa harus bergantung pada musim. Sejak saat itu, dilakukan berbagai percobaan dan replikasi percobaan. Semua data yang dihasilkan kemudian dianalisa untuk disimpulkan (dengan bantuan banyak pihak). Artikel berikut ini merangkumkan apa saja yang berhasil kami pelajari.]

AN 45 Fern Fig 1

Gambar 1.Pucuk paku-pakuan yang aman dikonsumsi (Diplazium esculentum Reytz.). Pucuk seperti ini kadang disebut ‘kepala biola.’

Pengantar untuk Mengenal Pakis

Berbagai spesies pakis yang dapat dikonsumsi bisa ditemukan di seluruh penjuru dunia, mulai dari kawasan tropis hingga kawasan

 

 

beriklim sedang. Pakis yang paling umum ditemui antara lain jenis paku-pakuan (Pteridium spp.), paku sejati (Matteuccia struthiopteris), dan jenis pakis bang (Jawa) Stenochlaena spp. Namun, penelitian kali ini difokuskan pada pakis sayur (Diplazium esculentum Reytz.), tanaman tahunan sayuran tropis yang biasanya tumbuh di kawasan Asia dan Oseania. Sakai dkk. (2016) mengkategorikan pakis sayur yang dapat dimakan ini sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu atau HHBK. Pakis sayur ini adalah tanaman sayur yang tumbuh secara signifikan di kawasan regional di India, Bangladesh, Thailand, Malaysia, Filipina, dan negara bagian Hawaii, AS (Lin dkk., 2009). Daun dan pucuk pakis muda yang lembut (biasanya disebut sebagai 'kepala biola') biasanya dimakan segar, direbus, ditumis, atau dimasak dengan bumbu kari, tergantung pada wilayah masing-masing tempat pakis ini dikonsumsi (Duncan, 2012).

 

Analisis nutrisi pakis sayur menunjukkan berbagai kandungan nutrisi yang bermanfaat, kaya akan beta-karoten, asam folat, beserta mineral kalsium, besi, dan fosfor; sedangkan sifat antinutrisi seperti asam fitat, tanin, dan trypsin ternyata terdapat dalam jumlah yang tidak beracun (Archana dkk., 2012; Junejo dkk., 2015). Hasil analisis nutrisi Diplazium esculentum yang dilakukan di Universitas Kasetsart di Bangkok menunjukkan kayanya kandungan komposisi nutrisi di dalamnya (Tabel 1).

 

 

Komposisi Nutrisi Diplazium esculentum Reytz.

 

Beta-karoten (ug/100 g)

516.58±2.66

Fosfor (mg/100 g)

54.05±0.82

Vitamin B1 (mg/100 g)

ND

Vitamin B2 (mg/100 g)

0.04±0.00

Vitamin C (mg/100 g)

0.94±0.86

Vitamin E (α-tocopherol) (mg/100 g)

0.28±0.20

Kalsium (mg/kg)

138.00±5.21

Magnesium (mg/kg)

205.05±29.07

Potasium (mg/kg)

3691.75±278.17

Sodium (mg/kg)

27.16±2.60

 

Tabel 1. Komposisi Nutrisi pada Diplazium esculentum Reytz.Analisis ini dilengkapi pada tahun 2017

bekerja sama dengan Kasetsart University, Bangkok, Thailand.

Pakis sayur dapat ditemukan secara musiman di berbagai pasar di wilayah Asia dan biasanya dipanen secara liar dari daerah yang lembab dan teduh di sepanjang tepi sungai dan di kawasan-kawasan berhutan. Selama musim hujan, ikatan-ikatan pakis sayur biasanya terlihat di pasar lokal di wilayah-wilayah ini. Meskipun demikian selama bulan-bulan musim kering tampaknya di pasar-pasar, pakis sayur ini tidak dipasok dalam jumlah yang mencukupi untuk memenuhi permintaan konsumen.

 

Sampai saat ini, hanya ada sedikit penelitian yang dilakukan mengenai potensi budidaya sayur pakis, dan peluang serta keterbatasan potensinya secara agronomis. Sebagian besar pasokan sayur pakis ke pasaran dipenuhi oleh sistem panen pakis liar, belum dibudidayakan secara luas sebagai spesies tanaman yang dikelola di pertanian. Mertz (1999) membandingkan potensi budidaya pakis Lemidi/Stenochlaena palustris (Burm.) dan pakis sayur/Diplazium esculentum (Retz.) di Malaysia dan mendapati bahwa budidaya pakis sayur ini tidak memungkinkan jika kondisi tempat tumbuhnya tidak mempunyai naungan. Penelitian terbaru di Pusat Dampak Regional ECHO Asia di Thailand utara menunjukkan bahwa tanaman ini dapat tumbuh dan bahkan berkembang dalam sistem produksi yang dikelola dengan adanya naungan.

 

Berbagai Tujuan Penelitian

 

Untuk melakukan verifikasi dan menguji teori ini, dilakukan percobaan lapangan selama beberapa tahun untuk: 1) mengevaluasi pertumbuhan dan jumlah panen tanaman pakis yang bisa dipasarkan, yang diproduksi dari sistem budidaya menggunakan rezim naungan yang berbeda-beda, dan 2) menilai potensi untuk memperpanjang masa produksi di luar periode pertumbuhan khas sayur pakis di musim hujan.

Menanam pakis sayur di luar ketersediaan musiman biasanya berfungsi sebagai sebuah relung pasar potensial bagi para petani kecil yang ingin memasuki pasar baru. Itulah sebabnya mengapa percobaan ini diminati sebagai sebuah potensi baru oleh banyak orang yang ada di dalam maupun di luar jejaring ECHO.

Menanam Pakis di Bawah Berbagai Tingkat Naungan

Gambaran tentang Lokasi dan Situs

Berbagai percobaan-lapangan dilakukan di ECHO Asia Seed Bank selama musim tanam tahun 2011 dan tahun 2017/2018. Kondisi

 

 

iklim di lokasi penelitian, yang terletak di perbukitan Thailand utara (20° 1'LU, 99° 17'BT), ditandai oleh adanya perbedaan musim yang jelas. Musim hujan (Mei hingga Oktober) dan musim kemarau (November hingga April) dengan suhu yang biasanya berkisar antara 25oC dan 30oC di sepanjang tahun (Tabel 2).

 

 

Jun.

Jul.

Aug.

Sep.

Oct.

Nov.

Dec.

Jan.

Feb.

Mar.

Apr.

May.

 

Putaran1 (2011)

 

Total

Curah Hujan (mm)

 

Suhu (oC)

287

 

(29)

334

 

(28)

335

 

(28)

305

 

(28)

29

 

(28)

5

 

(25)

3

 

(23)

3

 

(22)

1

 

(27)

92

 

(26)

64

 

(31)

242

 

(29)

1700

Rata-rata

27

Putaran2(2017/2018)

 

 

Total

Curah Hujan (mm)

 

Suhu (oC)

211

 

(31)

349

 

(29)

346

 

(29)

322

 

(29)

351

 

(27)

120

 

(26)

90

 

(23)

40

 

(25)

16

 

(28)

34

 

(32)

85

 

(32)

333

 

(31)

2297

Rata-rata

28.5

Tabel 2. Data curah hujan tahunan kumulatif (mm) dan suhu rata-rata bulanan (oC) di Mae Ai, Thailand, selama periode percobaan putaran ke 1 dan 2.

Pengaturan Percobaan

 

Pakis ditanam menggunakan bedengan-bedengan yang ditinggikan dan berada di lokasi-lokasi yang mendapat sinar matahari penuh disertai tiga perlakuan naungan yang berbeda:

1) tanaman kontrol yang tanpa naungan (0%), 2) naungan rendah (50%), dan 3) naungan tinggi (80%). Percobaan disusun sebagai sebuah Rancangan Blok Acak Lengkap/Randomized Complete Block Design (RCBD) dengan empat ulangan/replikasi. Baris-baris tunggal materi naungan penutup dibentangkan 1,5 m di atas bedengan sesuai masing-masing perlakuan yang diberikan (Gambar 2), dan dipasang sebuah sistem penyiram mikro untuk irigasi selama bulan-bulan musim kemarau untuk meniru kondisi lembab yang mirip dengan lingkungan lokal di mana pakis biasanya tumbuh. Interval panen untuk masing-masing percobaan putaran 1 maupun putaran 2 berlangsung dengan periode 1 tahun, memungkinkan dilakukannya perbandingan pertumbuhan dan hasil panen menurut musim, baik musim hujan maupun musim kering.

AN 45 Fern Fig 2

Gambar 2.Pengumpulan data di bedengan-bedengan pakis di lokasi penelitian ECHO Asia, Mae Ai, wilayah Thailand bagian utara.

 

Pengumpulan Data

Setelah tanaman tumbuh dengan baik (3 bulan setelah dipindah tanam), data panen daun pakis muda yang layak dipasarkan (kepala

 

 

biola) dikumpulkan setiap 3 minggu dari area pengambilan sampel yaitu baris tengah setiap petak. Data pertumbuhan pakis terus dikumpulkan menurut selang waktu (interval )3-minggu selama satu tahun, dengan jumlah total 14 periode pengambilan sampel. Panen pakis muda ini dihitung dan ditimbang saat basah, sedangkan sub-sampelnya dikeringkan dengan oven untuk menghitung jumlah berat kering. Baik data ketinggian tanaman maupun persentase nekrosis (kematian tanaman) diambil setiap 3 minggu di area pengambilan sampel di masing-masing petak. Tinggi tanaman dihitung dengan menggunakan daun pakis yang terpanjang jika direntangkan, sedangkan persentase nekrosis atau kematian tanaman diperkirakan dengan menggunakan skor peringkat visual dari 0 (tidak ada nekrosis/kematian) hingga 100 (nekrosis lengkap/kematian). Garis besar cara membuat perkiraan ini disampaikan dalam Deadman dkk. (2002).

 

Di berbagai titik selama masa percobaan, dilakukan beberapa kunjungan ke pasar lokal untuk membeli sayur pakis. Ini adalah upaya untuk memantau ketersediaan dan harga pasar sesuai waktu-waktu dalam setahun. Pucuk (kepala biola) dijual dalam bentuk bundelan dan bobot segarnya dicatat, demikian juga jumlah masing-masing pucuk tersebut dihitung. Guna mengevaluasi perbedaan harga maka pakis yang dibeli di pasar-pasar pedesaan lokal di kota terdekat (Fang) dibandingkan dengan pakis yang dibeli di kota tetangga yaitu Chiang Mai.

Naungan Berpengaruh, demikian juga Kelembaban!

Hasil uji coba lapangan yang kami peroleh menunjukkan bahwa budidaya pakis sayuran di lahan pertanian ternyata bisa produktif, baik di musim hujan maupun musim kemarau. Produksi yang diperoleh terbukti lebih tinggi selama musim hujan dibandingkan pada bulan-bulan musim kemarau, bahkan sekalipun diberi irigasi yang cukup sepanjang tahun. Hasil-hasil yang kami peroleh menunjukkan bahwa naungan memang memainkan peran penting dalam sebuah sistem produksi yang terkelola. Di setiap analisi, petak-petak yang diberi naungan jelas mengungguli petak-petak yang tidak dinaungi (Gambar 3). Dalam kedua putaran percobaan (1 dan 2), pakis yang ditanam di bawah struktur naungan parsial (50% naungan) ternyata menghasilkan lebih banyak panen ketimbang yang ditanam di bawah naungan lebih tinggi (80%) meskipun perbedaan antara keduanya kecil dibandingkan antara petak yang diberi naungan dan yang tanpa naungan.

AN 45 Fern Fig 3

Gambar 3.Berat basah tanaman pakis yang dipanen selama musim hujan (rainy season) dan musim kemarau (dry season) dalam 2 putaran (run) percobaan terpisah.

 

Dalam setiap percobaan, pakis yang tumbuh tanpa naungan menunjukkan tingkat nekrosis/kematian tanaman yang lebih tinggi ketimbang pakis yang diberi naungan. Kematian yang terjadi pada bagian-bagian vegetatif ini menunjukkan bahwa tanaman pakis sangat sensitif terhadap sinar matahari dan karenanya sinar matahari merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam membudidayakan tanaman ini. Ada perbedaan suhu tahunan rata-rata 1,5oC antara percobaan putaran 1 dan 2. Ini setidaknya memberikan sebagian penjelasan mengapa ada pertumbuhan tambahan, dan mengapa terjadi nekrosis di bedeng tanpa naungan pada putaran kedua dibandingkan putaran pertama.

AN 45 Fern Fig 4

Gambar 4.Persentase nekrosis yang terjadi pda daun-daun pakis selama musim hujan (rainy season) dan musim kemarau (dry season) dari 2 putaran (run) percobaan terpisah.

 

Dalam menganalisis hasil pekerjaan ini, kami melihat adanya perbedaan hasil panen yang lebih besar antara musim hujan dan musim kemarau pada putaran ke-2 dibandingkan dengan putaran ke-1. Hal ini terkait dengan adanya musim hujan yang panjang dan jumlah curah hujan di atas rata-rata selama berlangsungnya percobaan putaran ke-2 (2297mm dibandingkan dengan 1700mm pada putaranke-1). Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa meskipun naungan memang mempengaruhi perbedaan hasil panen dan merupakan faktor penting dalam produksi sayur pakis, namun kelembapan yang memadai juga merupakan faktor yang sama pentingnya meskipun irigasi diberikan setiap 3-4 hari di sepanjang musim. Selain itu ada kemungkinan diperlukan kelembapan yang lebih tinggi di sepanjang musim, untuk menghindari terjadinya stres pada tanaman akibat kekurangan air.

Prospek dan Penerapannya pada Pertanian Skala-Kecil

Meskipun hasil-hasil ini sama sekali bukan hasil yang terinci dan lengkap, namun terlihat bahwa ada potensi yang signifikan untuk memproduksi sayur pakis melalui budidaya yang terkelola dengan baik. Kami yakin bahwa produksi sayuran pakis skala-kecil dapat dan harus diintegrasikan ke dalam operasi pertanian skala-kecil, baik sebagai tanaman komersial maupun untuk konsumsi rumah tangga. Spesies Terabaikan & Kurang Dimanfaatkan/Neglected & Underutilized Species (NUS) ini memiliki potensi sebagai jenis tanaman yang dapat dipasarkan, serta sebagai sayuran tambahan yang kaya nutrisi untuk memperkaya ragam makanan rumah tangga. Masih ada potensi besar pakis sayuran sebagai tanaman relung khusus [niche crop], baik secara lokal di Asia Tenggara maupun di kawasan sekitarnya. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut untuk menyempurnakan praktik-praktik budidaya sayuran pakis ini, meskipun demikian ada potensi yang menjanjikan bagi produksi pakis melalui pengelolaan budidaya.

 

Ucapan Terimakasih

Para penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu dalam berbagai proyek yang sedang berjalan ini. Banyak pihak yang membantu dalam pengumpulan data dan pemeliharaan petak-petak percobaan. Terimakasih secara khusus kepada para sukarelawan ECHO Asia yaitu James Manson, Karis Lotze, dan Caleb & Cayleigh Philips. Terima kasih atas bantuan Anda dalam membuat dan memelihara petak-petak percobaan, dan pengumpulan data yang sangat membutuhkan ketekunan.

 

Pustaka

Archana, G. N., Pradeesh, S., Chinmayee, M. D., Mini, I., Swapna, T. S. (2012). Diplazium esculentum: a wild nutrient-rich leafy vegetable from Western Ghats. In: Sabu, A., Agustine, A. (eds) Propsects in Bioscience: Addressing the Issues. 293-301.

Deadman, M. L., Khan, I. A., Thacker, J. R. M., Al-Habsi, K. (2002). Interaction between leafminer damage and leaf necrosis caused by alternaria alternata on potato in the Sulfanate of Oman. The Plant Pathology Journal. 18(40): 210-215.

Duncan, K., Chompoothong, N., Burnette, R. 2012. Vegetable Production Throughout the Rainy Season. ECHO Asia Notes. 13: 1-14.

Junejo, J. A., Ghoshal, A., Mondal, P., Nainwal, L., Zaman, K., Singh, K. D., Chakraborty, T. (2015). In-vivo toxicity evaluation and phytochemical, physiochemical analysis of Diplazium esculentum (Retz.) Sw. leaves a traditionally used North-Eastern Indian vegetable. Advances in Bioresearch. 6(5): 175-181.

Lin, L. J., Hsiao, Y. Y., & Kuo, C. G. (2009). Discovering Indigenous Treasures: Promising Indigenous Vegetables from Around the World. World Vegetable Center. 9(720): 118-121. 

Mertz, O. (1999). Cultivation potential of two edible ferns, Diplazium esculentum and Stenochlaena palustris. Tropical Agriculture. 76(1): 10-16.

Sakai, S., Choy, Y. K., Kishimoto-Yamada, K., Takano, K. T., Ichikawa, M., Samejima, H., Kato, Y., Ushio, M., Saizen, I., Nakashizuka, T., Itioka, T. (2016). Social and ecological factors associated with the use of non-timber forest products by people in rural Borneo. Biological Conservation. 204: 340-349.